Sabtu, 27 Juli 2019

Guru, Orang Tua Kedua

Percakapan saya dengan seorang ibu dari dua anak. Beliau pun pernah bekerja di salah satu sekolah. Hanya saja sekarang beliau lebih memilih untuk mengurus anaknya yang kedua di rumah.
Beliau memiliki kecemasan dalam memilih sekolah untuk anaknya. Karena, beliau memiliki beberapa teman yang bekerja menjadi guru di sekolah. Banyak diantaranya guru senior (yang sudah berumur di atas 35 tahun) memiliki kecemasan yang hampir sama dengan saya. Kami (guru yang memiliki "passion" dalam mendidik anak) memiliki jiwa mendidik dan penyayang. Jika ditanya saat interview kerja di sekolah, mengapa Anda ingin menjadi guru? Karena saya "suka" dengan anak kecil.
HEY!! Lagu lama...
Semua orang pasti suka dengan anak-anak. Apakah Anda masih suka dengan anak kecil (murid / anak didik) saat dia poop di celana?
Masih ingin menjadi guru, di saat anak kecil menangis tanpa sebab, dan Anda sebagai guru tidak bisa membuatnya tenang?
Masih menyebut Anda suka dengan anak-anak saat orang tua dari anak itu "jutek" kepada Anda?

Menjadi guru itu harus berkomitmen dalam mendidik anak, sabar dalam mendidik anak, ramah kepada semua anak. Konsisten dalam berkata. Tanggung jawab dalam menilai dan mengobservasi anak didiknya.

Menjadi guru bukan hanya harus pintar dan berpendidikan tinggi. Selain mendidik anak, membantu dalam proses pengembangan anak, dan menemani anak bermain, guru harus bisa menjadi lebih dari teman. Bisa dikatakan menjadi Ibu kedua di sekolah.
No jealous ya mams. Tapi, bukankah kita sebagai para ibu menjadi tenang jika ada guru yang bisa melindungi, mengayomi, mendidik anak di luar rumah?
Tidak mungkin juga kan kalau anak terus home schooling, mereka butuh sosialisasi karena mereka makhluk sosial. Mereka (anak-anak) butuh keluar untuk menjadi seseorang nantinya. Siapa orang kedua yang tanggung jawab memanusiakan seorang manusia? GURU...

Senin, 03 Juni 2019

Murid Terbaik Datang dari Guru Terbaik

Merujuk pada kisah guru di dunia pendidikan..
Saya ingin memberi komentar kepada salah satu sekolah yang memiliki program yang saya suka. Bagi saya program itu baik sekali untuk perkembangan anak dalam pola kemandirian, kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta membangun kesadaran "si" anak menjadi "manusia" di lingkungannya sekarang dan nanti di masa depan.
Teman saya berkata, "sekolah dengan program memanusiakan manusia."

Apa yang Anda bayangkan tentang program itu?
Saya katakan sekolah tersebut bagus. Tapi, ada satu hal yang luput. Sepele mungkin. Bukan saya maksud mengomentari hal yang sebenarnya tidak perlu dikomentari atau diumbar, tetapi, biar Anda yang menilai saya "sok tahu" atau "sok benar".

Selain guru di dalamnya terkadang berbahasa kurang sopan, seperti komentar saya sebelumnya, kata "awas" atau kurangnya ucapan "terimakasih" kepada anak didik, saya menemukan hal yang mencengangkan, dan buat saya terheran-heran.

Saya terbilang guru baru di sekolah itu, saya belum faham dengan sistem pembelian makanan di kantin sekolah tersebut, kemudian saya bertanya kepada salah satu murid di kelas, bagaimana cara membeli makanan di kantin. Anak tersebut menjelaskan sambil menemani saya ke kantin tersebut. Ketika tiba di kantin, guru anak tersebut memanggil dan menasehati anak tersebut, saya merasa bersalah, kemudian saya berkata "mereka temani saya membeli makanan di kantin". Kemudian guru tersebut tetap menasehati anak itu, "kamu balik lagi ke kelas! ga perlu ditemenin, kamu habiskan dulu makanan kamu, keburu habis waktu istirahatnya!" dengan nada tinggi yang tegas.

Well, apa yang Anda fikirkan?
Yang saya fikirkan, secara tidak langsung guru itu mengajarkan anak itu menjadi orang yang egois.
Lhooo, kok bisa?
Coba kita uraikan. Anak itu sudah menemani saya yang tidak tahu cara membeli makanan di kantin, anak tersebut sudah memiliki kepekaan dan kesadaran akan menolong sesama. Toh, nanti juga anak tersebut akan makan bersama saya. Saya pun tidak memaksa anak tersebut untuk menemani saya, mereka suka rela menawarkan diri menemani saya. Apakah saya akan membeli makanan di kantin selama 15 menit?
Ucapan guru itu menyebutkan, habiskan dulu makananmu, sebelum waktu istirahatmu habis. Ow, jadi dikala ada teman atau orang lain sedang butuh bantuan, anak tersebut ya mementingkan dirinya dulu dong.
"Hey tolong dong!"
"Nanti ya, saya makan dulu!"
Ohh ok!!

Mendidik anak untuk peka terhadap lingkungan. Tetapi sudah merasa peka, langsung dirubah lagi. Ini juga sebuah ketidak konsistenan guru terhadap anak didik. Dan saya cukup terkejut. Jadi nanti suatu saat jika saya mendidik anak harus seperti apa? Anak dibuat peka, kemudian disalahkan atas kepekaannya tersebut?
Guru, dia yang berpegang penting dan yang paling bertanggungjawab atas pendidikan karakter di sekolah. Jika anak tersebut gagal, guru harus mau bertanggung jawab, bukan hanya ingin menanggung gajinya saja.
Great schools come from a great teachers. Great children come from a great teachers.
Jadilah great teacher itu.

Guru di Zaman Sekarang

Di jaman sekarang, banyak sekolah hanya menerima guru dengan secarik kertas bertanda S1, dibanding dengan loyalitas kerja atau pengalaman kerja.

Well, bagi saya, saya hanya lulusan D3. Sulit diterima di sekolah mana pun. Padahal saya memiliki pengalaman, dan bagi saya, pengalaman pun suatu proses pembelajaran, dengan cara terjun langsungke lapangan. Hanya saja tidak menghasilkan secarik kertas.

Mungkin ini luput dari sisi "luar sekolah", tidak sedikit pendidik di sekolah elit sekalipun, "berembelkan" sarjana, bahkan dibilang semua pendidik memiliki status sarjana. Sarjana lulusan pendidikan, psikologi atau bebas, punya pengalaman atau belum punya pengalaman, mereka lolos seleksi dan menyandang nama "guru".

Tapi, apakah yang luput?
Sarjana, pintar, atau pun berpendidikan tinggi, bukan jaminan menjadi guru yang "benar".
Bukan berarti saya benar atau Anda salah. Jika saya benar, dan sudah pintar, saya tidak ada di dunia ini, saya sudah berada di surga bersama orang-orang yang benar.

Banyak "selentingan" yang perlu dikoreksi, tetapi karena status "sarjana" tersebut, well, ok lah, "sekolah" maafkan.
Jika diperhatikan, memang "sepele", jika di saat sedang berkumpul, anak-anak berlarian di antara orang dewasa, kemudian teriak "awas!". Bagaimana menurut Anda?
Atau, saat anak bermain mobil-mobilan teriak "awas!".
Apa yang Anda spontan pikirkan?
Tidak sopan..
Ya, bukankah lebih baik "permisi". Walo anak itu terburu-buru dan menabrak orang lain, tetapi dengan kata permisi, apa yang Anda bayangkan?
Kesopanan. Sopan santun.

Hal ini sepele, tetapi luput atau dilupakan dari sisi "luar sekolah". Tidak sedikit pendidik mengatakan "awas" saat sedang mengajar di kelas. Entah itu "awas, ibu mau lewat." atau "awas, jangan duduk di situ." Atau menjadi guru terlalu gengsi untuk mengatakan, "maaf ya, permisi. Ibu mau lewat" kepada anak-anak didiknya. Bagaimana seorang guru akan mengajarkan kesopansantunan kepada anak didiknya jika guru itu sendiri tidak berlaku sopan?

Sepele. Tapi apakah mau dibiarkan?
Guru seharusnya menjadi teladan, bukan jd membanggakan karena memiliki secarik kertas penanda Anda pintar.
Sopan santun dan moral generasi muda mulai luntur. Siapa yang mau disalahkan? Orang tua yang mengandung? Guru. Justru guru yang memiliki tugas dalam mendidik anak di rumah kedua, yaitu sekolah. Kalau orang tua sudah mendidik anaknya dengan benar, alangkah baiknya dilanjutkan di sekolah. Dan jika orang tua gagal dalam mendidik anak di rumah, guru yang bertugas mendidik anak di sekolah. Kalau tidak setuju, ya tidak usah jadi guru....

Jumat, 31 Mei 2019

Guru Terbaik

Yess mams, kita semua ini adalah guru. Secara tidak langsung, mams ketika berbicara pada anak sejak dalam kandungan, apakah itu bukan hal yang membuat anak belajar mengenal lingkungannya? Apakah saat mams bernyanyi buat anak, menari buat anak, itu bukan hal yang mendidik anak?
Yess mams, be proud of yourself.

Saya pun dulu seorang guru. Saya berhenti menjadi guru sejak 5 tahun, karena saya memiliki 2 anak dalam 5 tahun terakhir.

Saya merasa rindu untuk mengajar anak-anak kembali.
Yups, melamar ke beberapa sekolah, ternyata kebanyakan sekolah meminta minimal pendidikan di S1 pendidikan, so buat saya yang hanya lulusan D3 lebih baik diam saja di rumah.

Tidak sedikit dari kita berfikir bahwa guru harus pintar. Pintar tapi tidak memiliki kesadaran dalam mendidik anak, atau tidak memahami akan peran, fungsi dan tugasnya sebagai guru, apa yang akan Anda pikirkan?
Kemudian, apakah guru-guru di sekolah sudah mencapai titik pemahaman akan kesadaran mendidik seorang anak?
Who knows, and no offense teachers.

Memang tidak akan menjadi menjamin sekolah mahal dengan guru-guru lulusan S1, gurunya akan selalu memahami anak-anak didiknya. Kecuali, sekolah tersebut, selalu mengadakan seminar-seminar atau pelatihan bagi gurunya, agar gurunya selalu ingat akan peran, fungsi dan tugasnya sebagai guru.

Jadi, carilah guru yang bisa memahami peran, fungsi dan tugasnya sebagai guru. Karena, guru itulah yang akan membawa anak-anak Anda menjadi anak-anak yang sukses di kemudian hari. Karena, great school become from great teacher.

Kamis, 23 Mei 2019

Sarjana VS Pengalaman

Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia.

Bagi saya, pendidikan terakhir Anda merupakan senjata Anda untuk mengubah hidup Anda.

Di zaman sekarang, banyak perusahaan tempat bekerja lebih melihat lulusan pendidikan dibanding loyalitas kerja atau pengalaman kerja.

Well, bagi saya, saya hanya lulusan D3 Ilmu Komunikasi, yang ingin menjadi guru, cukup sulit diterima di sekolah "bergengsi". Padahal saya memiliki pengalaman mengajar.

Ada sesuatu yang luput dari sisi "luar sekolah". Tidak sedikit pendidik di sekolah elit sekalipun, "berembelkan" sarjana, bahkan dibilang semua pendidik memiliki status sarjana. Sarjana lulusan Pendidikan PGTK / PGSD, Psikologi, Bahasa Inggris atau jurusan lainnya. Memiliki pengalaman atau belum memiliki pengalaman. Mereka dengan mudah dapat lolos seleksi dan menyandang nama "guru".

Tapi, apakah yang luput?
Sarjana, pintar, atau pun berpendidikan tinggi, bukan jaminan menjadi guru yang "benar".
Bukan berarti saya benar atau Anda salah. Jika saya benar, dan sudah pintar, saya tidak ada di dunia ini, saya sudah berada di surga bersama orang-orang yang benar.
Banyak "selentingan" yang perlu dikoreksi, tetapi karena status "sarjana" tersebut, well, ok lah, pihak sekolah memaafkan.
Jika diperhatikan, memang "sepele", jika di saat sedang berkumpul, anak-anak berlarian di antara orang dewasa, kemudian teriak "awas!". Bagaimana menurut Anda? Apa yang salah?
Atau, saat anak bermain mobil-mobilan teriak "awas!".
Apa yang Anda spontan pikirkan?
Tidak sopan.
Ya, bukankah lebih baik mengatakan "permisi". Walo anak itu terburu-buru dan menabrak orang lain, tetapi dengan kata permisi, apa yang Anda bayangkan?
Sopan santun. Hal ini yang luput dari anak di zaman sekarang. Karena siapa? Guru.
Mengapa Guru? Bukankah kesopanan dididik di lingkungan awal, yaitu keluarga?
Ya, betul. Jika keluarga kecil sudah merasa mendidik kesopansantunan dengan baik kepada anaknya, alakah baiknya diteruskan gurunya di sekolah. Dan jika keluarga kecil gagal dalam mendidik kesopansantunan kepada anaknya di rumah, justru akan lebih baik guru mendidik hal itu di sekolah.

Hal ini yang luput dari sisi "luar sekolah". Tidak sedikit pendidik mengatakan "awas" saat sedang mengajar di kelas. Entah itu "awas, ibu mau lewat." atau "awas, jangan duduk di situ."
Sepele. Tapi apakah mau dibiarkan?
Lebih baik pintar dan cerdas, tetapi kurang dalam hal sopan santun, atau sopan dan santun, tetapi kurang pintar?
Tentu sopan dan santun terlebih dahulu. Karena menjadi pintar, banyak teori dan metode yang bisa membuat Anda menjadi pintar. Tetapi kesopanan, tidak ada teori atau metode yang akan mendidik Anda akan hal ini.
Sopan santun mulai punah. Jika Anda ingin dihargai dan dihormati oleh anak didik, sebagai pendidik tidak perlu gengsi untuk menghargai dan menghormati anak kecil.

Guru

Saya seorang ibu dari dua anak yang sudah menjadi guru di dunia pendidikan anak usia dini kurang lebih selama 7 tahun. Saya sempat berhenti selama 5 tahun, karena saya ingin mengurus anak-anak saya sendiri. Dan tahun ini, anak-anak saya mulai sekolah, saya mulai melepas mereka untuk bersosialisasi. Saya pun kembali menggeluti dunia pendidikan.

Saya hanya lulusan Diploma Ilmu Komunikasi. Saya banyak belajar menjadi guru dari pengalaman saya bekerja di beberapa sekolah, di beberapa daerah. Bukan maksud menggurui, karena basic saya bukan guru, atau bukan maksud menjatuhkan salah satu pihak yang merasa terkait, karena saya tidak memiliki apa-apa.

Banyak orang ingin menjadi guru, dengan alasan "karena saya menyukai anak-anak."
Awal saya memutuskan ingin menjadi guru, karena saya melihat dan berfikir pekerjaan guru itu mudah, bisa pulang cepat, tidak stres, hanya bermain dengan anak-anak, dan lain-lain. Kemudian, saya memutuskan untuk mangambil pendidikan guru PGTK, dan saya terjun langsung menjadi guru usia pra sekolah, di salah satu sekolah dengan program dari luar Indonesia.
Setahun saya belajar menjadi guru, ternyata saya mendapatkan kenyamanan dari anak-anak yang dekat dengan saya. Saya ingin belajar lebih dari sekolah yang lain, dan saya pun pindah ke sekolah yang lain. Di sana saya banyak belajar menjadi seorang guru. Saya mendapatkan kepuasan ketika melihat anak-anak dari tidak bisa, menjadi bisa.
Saya haus akan pendidikan anak usia dini, hingga saya terjun ke dunia pendidikan di daerah lain yang lebih jauh dari rumah saya.

Ternyata, pekerjaan seorang guru itu tidak mudah. Guru harus bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak didiknya. Tetapi, saya merasa, guru adalah panggilan hidup saya.
Saya menikmati bermain dengan imajinasi anak-anak, mendengarkan keluh kesah mereka, menemani mereka bermain sambil belajar, dan lain-lain.

Kembali ke dunia pendidikan usia dini, membuat saya cukup terkejut dan terheran-heran. Tahun ini dirasakan oleh saya, banyak perubahan di dunia pendidikan, terutama guru.
Saya bicara guru di dunia pendidikan usia dini.
Krisis moral, saya katakan. Seharusnya menjadi seorang guru itu memiliki sifat dan sikap yang ramah, sopan dan santun. Tetapi, yang saya lihat dan alami sekarang, banyak sekolah yang memiliki guru yang kurang ramah. Ramah di sini antara guru satu dengan guru yang lain. Apa urusannya jika sesama guru tidak ramah?
Jelas akan sangat berpengaruh. Guru itu harus bisa menjadi teladan untuk anak didiknya. Jika sesama guru tidak saling menyapa atau kurang rasa menghargai dan menghormati, bagaimana guru tersebut akan memberikan pelajaran tentang keramahtamahan atau menghargai dan menghormati orang lain?

Rabu, 22 Mei 2019

Anak-Anak Pun Memiliki Konflik

Teringat ketika saya sedang ikut pelatihan mengajar anak kelas 5 SD. Ternyata konflik yang terjadi sesama teman kelas 5 SD, berbeda dengan konflik yang terjadi di usia dini, pra sekolah. Saya cukup mengalami kesulitan dalam menghadapinya, karena kata-kata sebagai guru harus berbobot, tidak hanya "Ya, sudah lah, tidak usah diperpanjang. Maafkan saja." atau "Ya, namanya juga anak-anak."

Di saat jam istirahat, anak yang memiliki konflik tersebut mendekati saya dan mencurahkan isi hatinya, kekesalannya, dan rasa emosinya dia kepada saya. Saya terdiam, sembari memikirkan kata-kata yang bisa dicerna oleh anak itu.

Ketika, anak itu selesai mencurahkan isi hatinya, saya pun mulai bicara.
"Ada salah, ada benar. Kita tidak akan tahu suatu hal yang benar jika kita tidak melalui hal yang salah."
"Tapi kak, dia itu sudah sering diberitahu hal yang benar, tapi selalu saja seperti itu. Dia itu memang nakal!" Tegas anak itu.
"Menurut kamu, apakah kamu butuh teman seperti dia?" Tanya saya.
"Ga!" Marah dia.
"Tapi, kalau tidak ada dia yang selalu berbuat salah, apakah kamu  menjadi benar?"
Anak itu pun terdiam. Dia pun mulai tersenyum dan "Iya, kak. Saya mengerti." Senyum dia.

Menjadi guru bagi saya menyenangkan. Mendengarkan curahan hati mereka, dan mencoba mencari solusi yang membuat mereka tersenyum kembali.

Dari percakapan saya dengan anak itu, apakah Anda mengerti?
Bahwa, segala sesuatu bisa disebut benar, karena ada hal yang salah. Jika menurut Anda, rekan atau teman Anda "jahat" kepada Anda, coba ambil hikmahnya, karena melaluinya Anda menjadi tahu yang salah dan yang benar. Dan percayalah, Anda butuh mengalami kesalahan untuk mendapatkan kebenaran di depan.

Sekolah dan Guru

Tidak sedikit sekolah yang mendirikan fasilitas pendidikan berdasarkan "bisnis" ketimbang memajukan pendidikan anak Indonesia. Mereka memasang tarif tinggi setiap tahun ajaran dan atau setiap bayar perbulannya. Tetapi, tahukah mams, uang yang masuk kebanyakan untuk perorangan atau untuk pembangunan dan fasilitas sekolah. Fasilitas atau pengembangan sekolah pun terkadang nampak biasa saja. Guru-guru pun dibayar di bawah UMR. So, kemana uang-uang itu melayang. Who knows mams.

For your information, program yang diberikan oleh sekolah "bergengsi" dengan sekolah "paud", hanya berbeda di bahasa. Ok lah, mereka, sekolah yang memiliki program dari luar Indonesia, menggunakan bahasa asing, dan tentu kelasnya sangat "kinclong". Tetapi, menurut mams, apa yang anak usia dini eksplor? motorik kasar motorik halus, berbahasa dan sosialisasi. Apakah PAUD tidak memberikan hal itu sepenuhnya?

Menurut saya, sekolah-sekolah negeri pemerintah lebih berbasis holistik. Di dalamnya banyak sekali anak dalam berbagai jenis karakter, (dulu) berbagai budaya, sekarang sudah berbasis zona, jadi karakter dan lingkungan bermainnya hanya satu daerah saja. Agama bisa saja berbeda, lebih tinggi rasa toleransi.

Tidak bermaksud mengadili sekolah mana pun. Semua sekolah memberikan program pendidikan yang maksimal, yang hanya saya ingin kritik adalah guru.
Guru menentukan sekolah itu bagus atau tidak. Mengapa begitu?
Guru menentukan prestasi seorang anak. Jika anak berprestasi, bukankah sekolah itu menjadi sekolah favorit?
Hal terkecilnya, jika anak merasa nyaman dengan guru di sekolah tersebut, secara tidak langsung, sekolah itu pun akan menjadi sekolah yang menyenangkan untuk anak.

Sekolah Anak Usia Dini

Bentar lagi masuk sekolah buat si kecil mams.. Termasuk anak saya.
Bingung memilih sekolah yang "cocok" dan tentu "murah"?

Cocok dalam artian apakah anak suka? Apakah mams suka? Apakah fasilitas mendukung? Apakah bisa menjamin anak mencapai sasaran yang mams mau?

Murah dalam artian, apakah harga yang diberikan setara dengan fasilitas yang didapat?

Tidak sedikit sekolah PAUD atau TK yang memberikan harga murah, tetapi fasilitas cukup memadai, hanya saja emak-emak banyak memilih sekolah bergengsi, ternama, favorit.
Karena, banyak emak-emak berfikir kalau harga sekolah mahal, berarti fasilitas dan program sekolahnya bagus.

Oops, no offense mams.. Ada yang termasuk emak-emak itu?

Guru, Orang Tua Kedua

Percakapan saya dengan seorang ibu dari dua anak. Beliau pun pernah bekerja di salah satu sekolah. Hanya saja sekarang beliau lebih memilih ...