Senin, 03 Juni 2019

Murid Terbaik Datang dari Guru Terbaik

Merujuk pada kisah guru di dunia pendidikan..
Saya ingin memberi komentar kepada salah satu sekolah yang memiliki program yang saya suka. Bagi saya program itu baik sekali untuk perkembangan anak dalam pola kemandirian, kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta membangun kesadaran "si" anak menjadi "manusia" di lingkungannya sekarang dan nanti di masa depan.
Teman saya berkata, "sekolah dengan program memanusiakan manusia."

Apa yang Anda bayangkan tentang program itu?
Saya katakan sekolah tersebut bagus. Tapi, ada satu hal yang luput. Sepele mungkin. Bukan saya maksud mengomentari hal yang sebenarnya tidak perlu dikomentari atau diumbar, tetapi, biar Anda yang menilai saya "sok tahu" atau "sok benar".

Selain guru di dalamnya terkadang berbahasa kurang sopan, seperti komentar saya sebelumnya, kata "awas" atau kurangnya ucapan "terimakasih" kepada anak didik, saya menemukan hal yang mencengangkan, dan buat saya terheran-heran.

Saya terbilang guru baru di sekolah itu, saya belum faham dengan sistem pembelian makanan di kantin sekolah tersebut, kemudian saya bertanya kepada salah satu murid di kelas, bagaimana cara membeli makanan di kantin. Anak tersebut menjelaskan sambil menemani saya ke kantin tersebut. Ketika tiba di kantin, guru anak tersebut memanggil dan menasehati anak tersebut, saya merasa bersalah, kemudian saya berkata "mereka temani saya membeli makanan di kantin". Kemudian guru tersebut tetap menasehati anak itu, "kamu balik lagi ke kelas! ga perlu ditemenin, kamu habiskan dulu makanan kamu, keburu habis waktu istirahatnya!" dengan nada tinggi yang tegas.

Well, apa yang Anda fikirkan?
Yang saya fikirkan, secara tidak langsung guru itu mengajarkan anak itu menjadi orang yang egois.
Lhooo, kok bisa?
Coba kita uraikan. Anak itu sudah menemani saya yang tidak tahu cara membeli makanan di kantin, anak tersebut sudah memiliki kepekaan dan kesadaran akan menolong sesama. Toh, nanti juga anak tersebut akan makan bersama saya. Saya pun tidak memaksa anak tersebut untuk menemani saya, mereka suka rela menawarkan diri menemani saya. Apakah saya akan membeli makanan di kantin selama 15 menit?
Ucapan guru itu menyebutkan, habiskan dulu makananmu, sebelum waktu istirahatmu habis. Ow, jadi dikala ada teman atau orang lain sedang butuh bantuan, anak tersebut ya mementingkan dirinya dulu dong.
"Hey tolong dong!"
"Nanti ya, saya makan dulu!"
Ohh ok!!

Mendidik anak untuk peka terhadap lingkungan. Tetapi sudah merasa peka, langsung dirubah lagi. Ini juga sebuah ketidak konsistenan guru terhadap anak didik. Dan saya cukup terkejut. Jadi nanti suatu saat jika saya mendidik anak harus seperti apa? Anak dibuat peka, kemudian disalahkan atas kepekaannya tersebut?
Guru, dia yang berpegang penting dan yang paling bertanggungjawab atas pendidikan karakter di sekolah. Jika anak tersebut gagal, guru harus mau bertanggung jawab, bukan hanya ingin menanggung gajinya saja.
Great schools come from a great teachers. Great children come from a great teachers.
Jadilah great teacher itu.

Guru di Zaman Sekarang

Di jaman sekarang, banyak sekolah hanya menerima guru dengan secarik kertas bertanda S1, dibanding dengan loyalitas kerja atau pengalaman kerja.

Well, bagi saya, saya hanya lulusan D3. Sulit diterima di sekolah mana pun. Padahal saya memiliki pengalaman, dan bagi saya, pengalaman pun suatu proses pembelajaran, dengan cara terjun langsungke lapangan. Hanya saja tidak menghasilkan secarik kertas.

Mungkin ini luput dari sisi "luar sekolah", tidak sedikit pendidik di sekolah elit sekalipun, "berembelkan" sarjana, bahkan dibilang semua pendidik memiliki status sarjana. Sarjana lulusan pendidikan, psikologi atau bebas, punya pengalaman atau belum punya pengalaman, mereka lolos seleksi dan menyandang nama "guru".

Tapi, apakah yang luput?
Sarjana, pintar, atau pun berpendidikan tinggi, bukan jaminan menjadi guru yang "benar".
Bukan berarti saya benar atau Anda salah. Jika saya benar, dan sudah pintar, saya tidak ada di dunia ini, saya sudah berada di surga bersama orang-orang yang benar.

Banyak "selentingan" yang perlu dikoreksi, tetapi karena status "sarjana" tersebut, well, ok lah, "sekolah" maafkan.
Jika diperhatikan, memang "sepele", jika di saat sedang berkumpul, anak-anak berlarian di antara orang dewasa, kemudian teriak "awas!". Bagaimana menurut Anda?
Atau, saat anak bermain mobil-mobilan teriak "awas!".
Apa yang Anda spontan pikirkan?
Tidak sopan..
Ya, bukankah lebih baik "permisi". Walo anak itu terburu-buru dan menabrak orang lain, tetapi dengan kata permisi, apa yang Anda bayangkan?
Kesopanan. Sopan santun.

Hal ini sepele, tetapi luput atau dilupakan dari sisi "luar sekolah". Tidak sedikit pendidik mengatakan "awas" saat sedang mengajar di kelas. Entah itu "awas, ibu mau lewat." atau "awas, jangan duduk di situ." Atau menjadi guru terlalu gengsi untuk mengatakan, "maaf ya, permisi. Ibu mau lewat" kepada anak-anak didiknya. Bagaimana seorang guru akan mengajarkan kesopansantunan kepada anak didiknya jika guru itu sendiri tidak berlaku sopan?

Sepele. Tapi apakah mau dibiarkan?
Guru seharusnya menjadi teladan, bukan jd membanggakan karena memiliki secarik kertas penanda Anda pintar.
Sopan santun dan moral generasi muda mulai luntur. Siapa yang mau disalahkan? Orang tua yang mengandung? Guru. Justru guru yang memiliki tugas dalam mendidik anak di rumah kedua, yaitu sekolah. Kalau orang tua sudah mendidik anaknya dengan benar, alangkah baiknya dilanjutkan di sekolah. Dan jika orang tua gagal dalam mendidik anak di rumah, guru yang bertugas mendidik anak di sekolah. Kalau tidak setuju, ya tidak usah jadi guru....

Guru, Orang Tua Kedua

Percakapan saya dengan seorang ibu dari dua anak. Beliau pun pernah bekerja di salah satu sekolah. Hanya saja sekarang beliau lebih memilih ...