Kamis, 23 Mei 2019

Sarjana VS Pengalaman

Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia.

Bagi saya, pendidikan terakhir Anda merupakan senjata Anda untuk mengubah hidup Anda.

Di zaman sekarang, banyak perusahaan tempat bekerja lebih melihat lulusan pendidikan dibanding loyalitas kerja atau pengalaman kerja.

Well, bagi saya, saya hanya lulusan D3 Ilmu Komunikasi, yang ingin menjadi guru, cukup sulit diterima di sekolah "bergengsi". Padahal saya memiliki pengalaman mengajar.

Ada sesuatu yang luput dari sisi "luar sekolah". Tidak sedikit pendidik di sekolah elit sekalipun, "berembelkan" sarjana, bahkan dibilang semua pendidik memiliki status sarjana. Sarjana lulusan Pendidikan PGTK / PGSD, Psikologi, Bahasa Inggris atau jurusan lainnya. Memiliki pengalaman atau belum memiliki pengalaman. Mereka dengan mudah dapat lolos seleksi dan menyandang nama "guru".

Tapi, apakah yang luput?
Sarjana, pintar, atau pun berpendidikan tinggi, bukan jaminan menjadi guru yang "benar".
Bukan berarti saya benar atau Anda salah. Jika saya benar, dan sudah pintar, saya tidak ada di dunia ini, saya sudah berada di surga bersama orang-orang yang benar.
Banyak "selentingan" yang perlu dikoreksi, tetapi karena status "sarjana" tersebut, well, ok lah, pihak sekolah memaafkan.
Jika diperhatikan, memang "sepele", jika di saat sedang berkumpul, anak-anak berlarian di antara orang dewasa, kemudian teriak "awas!". Bagaimana menurut Anda? Apa yang salah?
Atau, saat anak bermain mobil-mobilan teriak "awas!".
Apa yang Anda spontan pikirkan?
Tidak sopan.
Ya, bukankah lebih baik mengatakan "permisi". Walo anak itu terburu-buru dan menabrak orang lain, tetapi dengan kata permisi, apa yang Anda bayangkan?
Sopan santun. Hal ini yang luput dari anak di zaman sekarang. Karena siapa? Guru.
Mengapa Guru? Bukankah kesopanan dididik di lingkungan awal, yaitu keluarga?
Ya, betul. Jika keluarga kecil sudah merasa mendidik kesopansantunan dengan baik kepada anaknya, alakah baiknya diteruskan gurunya di sekolah. Dan jika keluarga kecil gagal dalam mendidik kesopansantunan kepada anaknya di rumah, justru akan lebih baik guru mendidik hal itu di sekolah.

Hal ini yang luput dari sisi "luar sekolah". Tidak sedikit pendidik mengatakan "awas" saat sedang mengajar di kelas. Entah itu "awas, ibu mau lewat." atau "awas, jangan duduk di situ."
Sepele. Tapi apakah mau dibiarkan?
Lebih baik pintar dan cerdas, tetapi kurang dalam hal sopan santun, atau sopan dan santun, tetapi kurang pintar?
Tentu sopan dan santun terlebih dahulu. Karena menjadi pintar, banyak teori dan metode yang bisa membuat Anda menjadi pintar. Tetapi kesopanan, tidak ada teori atau metode yang akan mendidik Anda akan hal ini.
Sopan santun mulai punah. Jika Anda ingin dihargai dan dihormati oleh anak didik, sebagai pendidik tidak perlu gengsi untuk menghargai dan menghormati anak kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru, Orang Tua Kedua

Percakapan saya dengan seorang ibu dari dua anak. Beliau pun pernah bekerja di salah satu sekolah. Hanya saja sekarang beliau lebih memilih ...